Kejadian di Kos Bandung

Diposting pada Dilihat: 0


Salam! Salam, saya Rina. Saya disebut dengan nama ini oleh teman-teman saya yang akrab. Saya sudah empat puluh empat tahun, karena saya lahir tahun 1983. Saya memiliki berat 48 kg dan tinggi 172 cm, yang cukup tinggi untuk wanita. Memang, kulitku putih bersih, wajahku lonjong, dan rambutku lurus sebahu.

Salah satu universitas swasta di Bandung menawarkan fakultas sastra kepada saya saat ini. Saya tinggal di dekat kampus. Saya adalah jenis wanita yang sangat peduli dengan penampilannya; saya sering pergi ke salon dan menyukai dandanan yang modis. Karena itu, tidak aneh bagi saya untuk menerima tatapan iseng dari pria di kampus, terutama jika saya mengenakan pakaian yang agak ketat atau seksi. Dalam situasi di mana saya sedang menari, pakaian yang saya kenakan pasti lebih terbuka.

Dalam hal cinta, saya bukan orang yang setia. Karena pacar saya kuliah di Amerika, kami hampir tidak pernah bertemu. Saya sangat menyayanginya, dan hubungan kami telah berlangsung selama tiga tahun lebih. Namun, ya, karena darah muda adalah namanya, kadang-kadang saya lupa. Ada beberapa kali saya melakukan hubungan intim satu malam dengan teman kuliah atau teman dugem. Itu tidak mengubah perasaan saya terhadap pacar saya, menurut saya, itu hanya hubungan fisik.

Kisah yang akan saya ceritakan ini terjadi pada pertengahan tahun 2012, saat liburan semester. Teman-teman kosku sudah banyak yang pulang kampung pada saat itu. Kami hanya tersisa empat: aku, satu pria, dan dua wanita. Dua temanku pergi untuk semester pendek, dan aku sendiri tidak pulang karena orang tuaku kembali ke luar kota untuk pernikahan. Kakakku satu-satunya juga sudah menikah dua tahun lalu dan menikah dengan pasangannya.

Oleh karena itu, saya pikir akan lebih baik untuk menunda kembali ke rumah sampai papa dan mamaku kembali, yang akan memakan waktu sekitar dua hingga tiga hari lagi. Aku memilih untuk bersantai bersama teman-teman saya di Bandung daripada berdiam diri di rumah. Aku dugem di salah satu tempat di Ibukota malam itu. Meskipun aku tidak terlalu kuat, teman-temanku meminta saya untuk terus minum. Mereka mengatakan untuk merayakan kenaikan IPK saya.

Saya akhirnya menjadi sangat mabuk. Setelah naik mobil temanku pulang, aku merasa tidak tahan dan ingin muntah, jadi aku pergi ke toilet di rumah Rani saat sampai di sana. Kepala saya terus pusing setelah muntah. Aku meminta Rani untuk menghabiskan satu malam saja di rumahnya. Tidak menyenangkan pulang ke kos dalam keadaan tidak jelas.

Singkatnya, aku tinggal di rumah Rani malam itu dan baru bangun sekitar pukul 12:00 besoknya, Minggu. Kepala saya masih merasa berat.

Jangan hentikan aku untuk minum! Saya benar-benar ingin mati kemarin! pesan saya kepada Rani.

Hihihi, itu baik-baik saja, Na, sekali-kali saja. Kami baru saja menyelesaikan semester! jawabnya sambil ketawa kecil sambil mengingat situasi saya kemarin.

Setelah makan sedikit, Rani mengantarku kembali ke kosku. Seperti beberapa hari sebelumnya, gerbang kos penuh dengan orang. Aku papasan dengan Igun, penjaga kosku berusia sekitar dua puluh tahun, di depan pos jaga. Dia masih berbicara dengan dua pemuda seumuran dia, yang saya tidak kenal; mungkin teman-temannya yang tinggal di daerah ini. Mereka membalas senyumanku dengan senyuman tipis.

Aku bisa merasakan mereka mendorong tubuhku yang seksi semalam, karena saya mengenakan tank top berleher rendah dan rok putih yang hanya sejengkal di atas lutut. Aku maju ke tangga dengan cepat. Aku papasan lagi dengan Cecep, pegawai kosku lainnya, di dekat tangga. Sekitar 16 tahunan, dia masih di sekolah menengah atas. Orang-orangnya kurus, rambutnya cepak, dan agak culun. Dia sering ditugaskan untuk membeli barang yang dipesan atau mengantarkan makanan untuk kami yang tinggal di sini.

“Eh… Neng, aku baru saja pulang!” sapanya sambil tertawa.

Aku hanya menjawab iya dan cepat naik tangga. Instingku mengatakan saat aku naik, dia berusaha melihat rok miniku. Aku sengaja membuatnya berani mengintip. Saat aku belok ke lantai dua, dia sempat terlihat sekilas.

Setelah sampai di kamar, saya langsung membuka baju dan pergi ke kamar mandi. Langsung kubuka shower dan kuguyur dengan air dingin ke seluruh tubuhku. Itu sangat menyegarkan! Saat itu, udara di luar masih sangat panas, dan panas alkohol masih terasa di tubuhku.

Aku menggunakan handuk untuk mengelap rambut saya setelah mandi dan keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benang pun. Kuambil celana kuning dan mengenakannya. Tidak ada baju barong yang biasa saya pakai saat tidur di gantungan pintu yang ditemukan. Saya baru ingat bahwa saya telah mencuci pakaian itu.

Aku langsung masuk ke kasur karena males nyari baju lain di lemari. Apalagi cuacanya sangat panas dan kipas angin kumatikan, lebih baik Anda tidur hanya dengan celana dalam. Aku terus tidur, tidak puas, dengan menyelimuti tubuhku dan memeluk guling kesayanganku. Selain itu, saya merasa kepala saya sedikit sakit. Ini karena orang yang tidak tahan minum diminta untuk minum banyak.

Setelah beberapa lama tidur yang tenang, saya merasa geli. Kugulingkan badanku ke arah lain, refleks tanganku menepis. Namun, perasaan itu muncul dengan lebih kuat lagi. Kali ini, saya juga merasakan ada yang mengenyot di paha dan dada saya.

Dalam kasus ini, ketika aku terbangun, aku kaget setengah mati melihat bahwa seseorang sedang mengenyot dadaku dan seseorang lainnya menjilat pahaku.

Aku mengedip-ngedipkan mata untuk membuat mataku terbuka. Saya tidak asing dengan wajah-wajah ini. Igun dan Cecep adalah karyawan kosku. Dan dua orang lainnya adalah teman-temannya, yang saya temui di bawah ini. Mengingat fakta bahwa saya selalu “bermain” satu lawan satu sepanjang hidup saya, apakah saya dapat melayani empat orang sekaligus?

Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk saya mencoba sensasi menjadi “digangbang”. Ketika tangan-tangan itu menggerayangi tubuhku, birahiku mulai naik, darahku mengalir, dan bulu-buluku merinding. Selain itu, tubuhku dipenuhi dengan bau dan jilatan. Salah satu rekan Igun tadi menarik celana dalamku.

Melihat tubuhku yang sudah telanjang bulat, keempat orang itu ludah, terutama Cecep. Sepertinya ini adalah pertama kalinya dia benar-benar melihat tubuh wanita.

“Anjrit, rambutnya lebat sekali, euy!” Igun berkata sambil memperhatikan kemaluanku yang berbulu lebat dan halus. Saya biasanya mencukur bagian pinggirnya dengan rapi agar tidak terlihat terlalu jelas saat memakai baju renang yang seksi.

Teman Igun dengan rambut gondrong sebahu menggigit dan menyedot putingku yang sensitif. Tangan yang membekap mulutku juga lepas, dan kuncian mereka terhadapku mengendur. Ketika Igun ingin menciumku, aku menggeleng-geleng, tapi dia kemudian memegang kepalaku sehingga aku tidak bisa menghindarinya lagi.

Mengalami rangsangan bertubi-tubi membuatku semakin terangsang, dan aku membuka mulutku untuk menerima lidah Igun. Saya harus menyesuaikan diri dengan bau mulutnya, mau tak mau. Mengimbangi gerakan lidahnya di mulutku, aku memainkan lidahnya.

Dua jari setidaknya bermain di vaginaku saat berciuman dengan Igun. Aku tidak tahu siapa itu karena biasanya aku memejamkan mata saat berciuman agar lebih terasa. Selain itu, aku tidak sempat ngenalin tanganku satu per satu karena ada empat pasang tangan yang menggerayangiku.

Selama waktu yang cukup lama, iguan menciumiku, tangannya menjelajahi setiap bagian tubuhku. Begitu mulutnya lepas, mungkin sekitar lima menit, aku akhirnya bisa bernapas lega lagi, meskipun napasku sudah terengah-engah. Ketika saya membuka mata saya, saya melihat teman Igun yang bermata besar itu dengan rakusnya mengenyot payudara saya di sebelah kanan saya. Setelah dia membuka pakaiannya, aku melihat penisnya yang panjang dengan kepala yang sudah disunat menggantung di selangkangannya.

Memikirkan bahwa aku harus mengulum benda itu membuatku terangsang sekaligus lucu. Bagian sampingku, yang terdiri dari perut, paha, dan dada, diraba dan dijilat oleh Cecep. Meskipun dia masih memakai kaos oblongnya, celananya terbuka. Penisnya juga cukup besar untuk anak seusianya.

Ternyata si pemuda gondrong adalah orang yang dari tadi mengorek vaginaku. Dia bahkan mendekatkan wajahnya ke sana dan menyentuh bibir vaginaku dengan lidahnya. Sungguh menggelitik dan menggelitik. Saya bingung apakah pengalaman saya saat itu termasuk perkosaan. Diakui bahwa mereka juga dapat melakukannya, karena pada awalnya mereka yang memaksa. Namun, dia tidak mengatakan tidak, karena saya juga mulai menikmatinya.

“Memeknya enak dan baunya mmm… ssluurrpp!” Berhati-hatilah dengan si gondrong di bawah sana.

“Oh, ya… nanti juga saya ingin makan ini, makannya cepat!” Igun menyatakan.

“Jangan lama-lama yah, nanti kita kebagian bau jigong lu,” timpal si mata besar.

Sekarang Cecep menggunakan mulutnya untuk mencaplok payudaraku. Tidak peduli seberapa culun dia terlihat, jilatannya membuat putingku semakin menegang. Igun juga membuka bajunya hingga telanjang. Anunya luar biasa, melebihi kedua temannya. Kami hanya memiliki si gondrong yang belum kulihat karena dia masih menjilat vaginaku. Saya harus mengakui bahwa mendapatkan perlakuan seperti ini sangat menyenangkan. Aku tidak pernah merasakan bagian sensitifku dimainkan secara bersamaan saat berhubungan seks satu lawan satu.

“Uhh-eeemm…. aaahh!” Ketika lidah si gondrong menyapu bibir vaginaku, aku ingin mendesah. Selain itu, jarinya masuk dan keluar di sana.

Setelah sekitar lima menit, Igun kembali ke tempatnya.

“Ayo disini, saya juga ingin merasakannya, gantian!” katanya meminta si gondrong pergi.

Igun langsung melumat selangkanganku dengan nafsu. Sambil menjilat dan mengisap, tangannya memegang kedua pahaku. Seolah-olah dia sedang makan semangka, mulutnya terbenam di kerimbunan bulu kemaluanku. Serangannya lebih kuat daripada si gondrong yang biasanya bosan. Lidahnya yang panjang membuat benda itu menyentuh klitorisku dan menjilati dinding kemaluanku saat menyusup ke dalam. Selain itu, aku terus menggelinjang tanpa alasan.

Melihat reaksiku, ketiga orang lainnya tertawa-tawa dan memberikan komentar yang tidak masuk akal. Selain itu, semangat mereka untuk mengerjaiku meningkat. Ketika si mata besar dengan gemasnya dipencet-pencet, itu membuat punggungku sakit. Segera setelah dia membuka bajunya, si gondrong berlutut di sebelahku dan memegang penisnya untuk disodorkan padaku.

“Diisep Neng, enak sekali!” Sambil menggosokkan kepala penis itu ke bibir dan wajahku, dia suruh.

Sebenarnya, kemaluannya yang hitam dengan kepala kemerahan itu menggelikan saya, tetapi saya juga tertantang untuk mencobanya. Kemudian, saya memulai dengan menyapukan lidah pada kepala penisnya saat saya memegang batang itu dengan tangan kiri saya. Dia langsung mendesah keenakan. Tidak jelas kekuatan apa yang membuatku begitu liar, meskipun sebelumnya aku tidak suka dekat dengan orang seperti mereka, terutama dalam hal ML.

Aku awalnya tidak nyaman dengan bau penisnya, tetapi mau tidak mau aku harus membiasakan diri. Kuemut dalam mulut sambil mengocoknya dengan tangan sambil berusaha menghirupnya. Saya menggunakan kesempatan itu untuk mendapatkan sedikit udara segar. Rasa geli di vaginaku kian menyebar ke seluruh tubuhku, dan aku merasa ingin pipis.

Aku mengalami orgasme pertamaku setelah tubuhku menggelinjang. Dijilatinya dengan lahap, lendir keluar dari vaginaku.

“Eh-eh, gantian dong, saya juga ingin mencicipi peju Neng!” ujar Cecep.

Igun digantikan oleh Cecep. Dia mengusap sisa cairan kemaluanku. Dia tidak selihai Igun, mungkin karena dia masih hijau dan baru menikmati wanita pertama. Dia suka menyentil klitorisku dengan lidahnya, yang membuatku geli.

Sekarang, Igun berlutut di sampingku, meraih tanganku dan menggenggamnya di bagian belakang penisnya. Saat jari-jariku melingkari batang itu, kesan pertama saya adalah terasa hangat dan keras. Aku mulai mengocok penisnya dengan tangan kiriku sambil mengulumnya dengan tangan kanan. Si mata besar masih menyusui payudaraku yang besar, tampaknya dia ketagihan dengannya.

Tidak lama kemudian, Cecep menjilati vaginaku. Karena yang paling kecil telah mengalah pada temannya, si mata besar sekarang mengambil alih posisinya. Si mata besar yang terlihat terburu-buru mencium vaginaku dengan nafsu. Aku semakin terangsang sambil menikmati kedua penisnya yang menodongku. Saya secara bergantian kukocok dan kuulum, meniru apa yang pernah kulihat di film porno di rumah temanku.

Rasa jijik saya terhadap penis hitam dengan kepala jamur secara bertahap sirna. Dengan meremas payudaraku yang digenggamnya, Igun mengungkapkan ekspresi nikmatnya, dan si gondrong menekan-nekan penisnya ke mulutku ketika gilirannya diulum, seolah-olah tidak rela melepaskannya.

Selain itu, Cecep dengan senang hati memainkan putingku. Benda kecil berwarna merah kecokelatan itu melakukan pilin-pilin dengan jarinya dan kadang-kadang juga dijilatinya. Selain itu, si mata besar tidak lama-lama menjilat vaginaku. Dia kemudian bangkit, berlutut di antara pahaku, dan memasukkan kepala penisnya ke dalam vaginaku.

Untuk melihat penis si mata besar mendesak memasuki vaginaku, kuhentikan sejenak aktivitasku terhadap dua penis yang saya genggam. Sambil menggigit bibir saya sambil menahan napas saya, saya melakukan penetrasi yang dalam. Setelah masuk sebagian, dia menghentakkan pinggulnya dengan kuat sehingga penisnya menghujam ke bawah. Aku langsung menjerit kecil dan menarik pahaku.

“Waaah… sangat lembut dan enak!” katanya setelah berhasil memasuki vaginaku.

Dia langsung menggenjotku. Penis itu memasuki vagina saya. Aku terus mengocok si gondrong dan Igun. Menikmati sensasi yang menjalari seluruh tubuhku membuatku lebih tertarik untuk mengocok kedua penis itu. Selain itu, Cecep terus-menerus mengisap payudaraku, sampai ludahnya dan ludah orang-orang yang sebelumnya mengisapnya menutupinya.

Tak lama kemudian, sesuatu yang basah dan hangat menerpa leher dan wajahku dari samping saat aku mengulum penis Igun. Wow, tampaknya si gondrong telah “keluar”. Kulepas penis Igun dari mulutku untuk sementara waktu. Begitu aku melihat todongan benda itu, semburan berikutnya semakin membasahi wajahku.

“Uhh… isepin, Neng!” Dengan penisnya menjejali mulutku, lenguhnya.

Penis itu masih menyemburkan isinya ke dalam mulutku, dan aku mengisapnya tanpa memikirkan rasa jijik, meskipun baunya agak menyengat. Mungkin karena aku terlalu terangsangnya sampai tidak sadar. Sampai sejauh ini, ponsel yang kutaruh di meja sana telah berdering sekali dan dua SMS telah masuk. Kubiarkan begitu saja, karena itu lebih baik. Penis si gondrong menyusut ke dalam mulutku, dan pemiliknya terengah-engah.

“Yee, payah lu, nojos belum ngecrot!” ledek Igun ke teman sebayanya.

“Sangat menyenangkan, sampai tidak tahan!” Balas si brengsek.

Sekarang si mata besar meminta posisi ganti. Setelah itu, mereka membalikkan tubuhku hingga telungkup. Saya percaya bahwa mereka akhirnya mengubah posisi juga. Dari saat aku berbaring telentang sambil dikerjai mereka, aku sudah gerah. Sangat panas di punggungku, dan benar-benar keringatku membasahi sprei di bawahku tadi. Seperti merangkak, perutku diangkat dari belakang. Ketika saya menoleh ke belakang, saya melihat pria dengan mata besar memasukkan penisnya ke dalam vaginaku.

Kurasakan tusukan lagi, kali ini lebih cepat dan lebih dalam. Sedang berlutut di depanku, Cecep meminta giliran merasakan mulutku. Dengan demikian, aku membuka mulut untuk mengizinkan batang itu memasukinya. Meskipun baunya tidak terlalu kuat, kuulum benda itu tanpa memperhatikan lagi; itu disebut barang ABG. Anak itu merem-melek dan menikmati kulumanku saat aku melirik ke atas. Selain itu, responsnya yang lucu.

“Gimana, Cep, menyenangkan nggak diemot kontolnya?”

“Si Cecep sudah tumbuh besar!”

Pada saat itu, saya hanya dapat mendengar keluhan-keluhan yang ditujukan kepada Cecep. Aku terus menggoyang pantatku sambil mengulum Cecep. Untuk menjadi jujur, rasanya sangat enak ketika digabungkan. Si gondrong yang mengistirahatkan penisnya memegang punggungku yang menggelayut. Dengan tangan kananku memegang penis Igun, saya mengocoknya pelan.

“Pelan-pelan saja, Neng, aku nggak pengen cepat ngecrot sih!” seperti yang dia katakan.

Akibat dikerubuti empat orang ini, saya sangat sibuk dan udara di sekitar saya semakin panas. Mana badannya masih bau. Melepaskan saya dari semua itu hanyalah birahi yang meninggalkan.

Selama lima belas menit menggenjotku, si mata besar tampaknya ingin “keluar”, seperti yang terlihat dari sodokannya yang lebih cepat.

“Annjjiiinngggg… aaahhh!” Dengan lenguhnya yang panjang, spermanya menyembur ke dalam vaginaku, yang tidak bisa kutolak.

Saya juga berpikir bahwa orang-orang ini sangat buruk. tanpa menggunakan kondom, tanpa meminta izin atau berbicara lebih dahulu Saya bersyukur bahwa pada saat itu saya tidak dalam masa subur; jika tidak, saya pasti akan hamil dengan orang-orang ini. Aku merasakan cairan hangat meleleh di paha atasku begitu dia melepaskan penisnya.

Igun segera mengambil alih dan menusukkan penisnya padaku, sepertinya dia tahu apa yang sedang terjadi dalam hatiku yang belum mencapai klimaks, atau orgasme tanggung. Seolah-olah dia sedang menyetubuhi mulutku, Cecep yang masih kuulum semakin menikmatinya. Saat Igun menggenjotku dengan ganas, dia mengeluarkan spermanya dalam mulutku, membuatku tidak bisa fokus mengisap penisnya. Sebagian sperma meleleh di pinggir bibirku.

Setelah Cecep melepaskan penisnya dari mulutku, lengan Igun mengangkat dadaku, membuatku berlutut. Igun terus menggenjotku dengan lengannya melingkari perutku. Sambil menahan senjatanya, si mata besar menggerayangi payudaraku yang membusung.

Sepertinya dia senang dengan pelayanan mulutku, si gondrong memintaku untuk mengulum lagi penisnya yang sudah mulai bangkit lagi. batang penisnya yang disodorkan kepada saya. Meskipun aku sedikit kesal dibuatnya, bekas spermanya masih melekat di tubuhku. Kumasukkan benda itu ke mulutku dengan cepat dan kujilati sisa-sisa spermanya. Benda di dalam mulutku semakin mengeras dan bergetar.

“Pelan-pelan saja Neng, buat persiapan ngejos di bawah nanti!” kata dia

Tak lama kemudian, tubuhku mengejang lagi, sepertinya ada sesuatu yang ingin meledak di bawah sana. Untuk melepaskan rasa sakit yang tak bisa kutahan lagi, aku melepaskan kulumanku. Tubuhku keluar bersama dengan lendirku. Orgasme kali ini lebih lama. Setelah sekitar dua hingga tiga menit, iguana terus menggenjot hingga akhirnya dia memasukkan penisnya lebih dalam dan mempererat pelukannya.

Ketika dia memuntahkan spermanya ke dalam vaginaku, aku merasakan sensasi hangat. Sekitar lima menitan kami mengambil waktu istirahat. Dua orang itu diperkenalkan kepada saya oleh Igun dan Cecep. Namanya Memet, dan Ipul adalah orang yang melotot. Memang benar bahwa mereka berdua adalah teman yang tinggal di pemukiman yang tidak jauh dari sini.

Igun juga menceritakan cara mereka masuk ke sini. Ternyata mereka iseng mengintipku saat aku keluar dari kamar mandi tanpa pakaian tadi sambil duduk di bangku tinggi di lubang angin di pintu kamarku. Pada awalnya, saya hanya ingin melihat-lihat, tetapi ketika Memet dan Ipul pulang, mereka ingin melihat yang terakhir kali, dan saya terlelap dengan celana dalam dan selimut tersingkap.

Mereka merencanakan untuk memperkosaku karena keadaan keuangan yang tidak memadai dan nafsu jahat mereka. Setelah memastikan bahwa saya benar-benar tertidur, Igun mencongkel kaca nako di sebelah pintu dan meraih grendel untuk memungkinkan mereka masuk. Ini terjadi seperti ini.

Mendengar semua itu membuatku marah. Mereka bertindak dengan sangat lancang, dan ini dianggap sebagai pemerkosaan. Namun, tidak peduli bagaimana Anda marah, saya menikmatinya. Selain itu, salahku berpakaian mencolok di hadapan mereka. Mereka memandangi tubuh telanjangku satu per satu dengan tatapan kesal dan berhasrat. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan karena perasaan saya sangat berbeda.

“Bentar yah, mau cuci muka dulu,” kataku sambil bangkit dan masuk ke kamar mandi dengan gontai.

Di sana, aku mencuci mukaku dari cipratan sperma untuk menghilangkan baunya. Setelah keluar dari kamar mandi, aku kembali duduk di kasur dan mengelilingi mereka. Kuikuti saja permainan mereka karena sudah tanggung untuk dihentikan. Si Cecep, yang masih hijau, minta diajari ciuman kali ini.

“Boleh yah, Neng, karena saya pengen ngerasain dicium cewek itu seperti apa sih, apalagi cewek cakep seperti Neng.” Pujiannya membuat mukaku tersanjung, dan dia memerah karena malu.

“Cium-cium!” teman-temannya menyorakinya.

“Sssttt… jangan terlalu keras, ada yang tahu apa yang salah!” Saya menasihati mereka untuk mengurangi volume.

Aku menunggu ciuman Cecep, memejamkan mataku seperti biasa. Pertama, aku merasakan bahunya dipegang dan kemudian bibirnya menempel pada bibirku. Teknik ciumannya amatiran, kaku, dan membosankan sehingga baru aku yang berusaha memainkan lidahku dia mulai membalasnya. Ketika aku memeluknya, percumbuan kami semakin panas.

Selain itu, selama percumbuan, saya merasakan tangan-tangan lain mengelusi punggung, paha, dan payudara saya. Karena aku memejamkan mata, tidak jelas siapa yang melakukannya. Yang jelas, pelecehan dan ucapan bodoh mereka membuat darahku bergolak lagi. Ketika seseorang memelukku dari belakang dan menjilati leherku, itu benar-benar sensasional.

Aku sering berciuman sambil digerayangi, dan napasku naik turun tanpa henti. Si Memet gondrong kemudian meminta jatahnya. Setelah berbaring telentang, dia meminta saya untuk memasukkan penisnya ke dalam vaginaku. Saya kemudian berdiri di atas penisnya. Supaya nafsu si Memet mendidih, kugenggam dan kueluskan penisku dulu. Kemudian baru aku mulai memasukkannya secara bertahap.

“Ahhh… eeegghh!” Saat memasukkan penis itu, aku mendesah. Bibirku terbuka dan aku memejamkan mata.

Setelah merasa cukup, aku perlahan menurun. Karena penisnya menutupi dinding vaginaku, memet juga mendesah kenikmatan.

Semakin cepat aku bergerak, payudaraku ikut bergetar. Si Memet tampak tertekan dan mendesah-desah tanpa alasan saat aku bertanggung jawab. Pengalaman seksualnya tampaknya jauh di bawahku. Sepertinya dia gemas melihat payudaraku yang juga naik-turun, dia julurkan tangannya meraih payudara kiriku.

Dua orang lainnya duduk dan menonton acara kami secara langsung. Igun sebelumnya telah turun ke bawah ke pos jaga dekat gerbang untuk memeriksa situasi. Tak lama kemudian, si Ipul mendekatiku dan menyodorkan penisnya kepadaku, yang langsung kugenggam.

Saat itu, aku mengocok penis Ipul dengan tanganku, bergaya wanita di atas. Dia ternyata tidak sekuat yang saya duga. Tampangnya seperti preman, dia orgasme dalam waktu yang singkat. Di dalam vaginaku, itu tumpah ruah. Meskipun pasanganku “buang” di dalam, saya lebih suka bercinta di saat-saat aman ini karena saya tidak merasa was-was.

Kupanggil si Cecep untuk menuntaskan birahiku tanpa malu lagi. Seolah-olah aku mempersilakan anak itu menusuknya, aku duduk di kasur dan membuka kedua pahaku. Karena ini adalah yang pertama baginya, aku harus membimbing penisnya memasuki vaginaku.

Dia diminta untuk mendorong pantatnya setelah kepalanya menekan bibir vaginaku. “Ohhh… yess!” Ketika penis perjaka itu masuk, saya mendesah.

Selain itu, saya merasakan gesekan antara dinding kemaluanku dan penisnya. Cecep terus menikmati hubungan seks pertamanya, terus menusuk-nusukkan penisnya hingga akhirnya kami berdua orgasme, berkat bimbinganku dalam mengatur kecepatan genjotan.

Aku terus dicumbu mereka secara bersamaan dan bergantian selama sekitar sejam lebih. Sampai akhirnya, kami semua lelah dan lelah. Salah seorang lagi membuang spermanya di wajahku saat orgasme.

Terutama Cecep dan Igun, mereka sering meminta agar saya melakukan hal yang sama sejak kejadian itu. Permintaannya juga kadang-kadang agak memaksa. Pada awalnya, saya benar-benar menikmatinya, tetapi seiring berjalannya waktu, saya menjadi kesal karena mereka menjadi lebih bodoh. Misalnya, suatu malam Igun mengetuk pintu dan meminta lagi sampai mengganggu tidurku.

Aku sampai marah dan mengancam akan membuat pemilik kos takut. Selain itu, setelah Igun mengeluh tentang hal itu kepada pamannya yang datang menjenguknya dari kampung, pria paruh baya itu juga sempat meminta jatah padaku—yang jika sempat akan kuceritakan.

Saya tidak ingin hal ini tersebar luas, apalagi sampai terjadi “kecelakaan” karena mereka. Jadi, setelah sewa kosku habis bulan itu, aku memutuskan untuk pindah ke kos lain yang agak jauh dari tempat itu hingga saat ini. Kadang-kadang saya merasa ingin mengulangi momen “keroyokan” itu, tetapi itu tidak terjadi. Terlalu berisiko untuk citra dan kesehatan di masa depan.