Bagaimana Membuat Rencana Untuk Tetangga Anda Berjalan Mulus

Diposting pada Dilihat: 0

Dalam cerita nakal kali ini, ada kisah tentang dua bapak yang menjalankan rencananya. Jika Anda tertarik, simak ceritanya.

Setelah sepuluh tahun menjalani kehidupan rumah tangga dan memiliki dua anak, wajar jika ada saat-saat ketika rasa puas hilang. Kami selalu menemukan cara untuk mengatasi kejenuhan, termasuk berhubungan seks, berkat hubungan kami yang terbuka.

Semuanya bermula dengan kisah yang diceritakan istriku saat dia tertidur. Dia menyatakan bahwa tetangga depan rumah Emma memiliki pasangan impoten. Saya terkejut dan tidak menyangka. Soalnya, postur tegap dan tinggi suami Emma membuatnya sulit dipercaya. Saya menyadari bahwa meskipun mereka sudah menikah selama sekitar lima tahun, mereka belum memiliki anak.

“Kau benar, Mah?” “Emma bercerita sendiri?” tanya saya, tetap ragu.
Seolah-olah dia menyadari keraguanku, istriku menjawab, “Iya, Emma cerita langsung sama Mama tadi.”
Wah, sangat menyedihkan. Jadi dia tidak puas, Mah? Menggodaku, mencoba mencari ikan.
“Iya”, jawab istriku singkat, tanpa membuat banyak komentar.

Pikiran saya segera melayang ke Emma. Dia sangat menarik dan menarik bagi saya. Saat dia berolahraga pagi di depan rumah, saya sering mencuri pandang. Jalan-jalan sering digunakan untuk jogging atau olahraga ringan karena kami tinggal di kompleks perumahan elit tanpa pagar antar rumah. Emma selalu menarik perhatian saya dengan tingginya sekitar 170 cm dan tubuhnya yang proporsional. Apalagi pahanya yang putih mulus membuat aku sulit mengalihkan matanya saat dia mengenakan celana pendek.

Dibandingkan dengan pinggangnya yang kecil, pinggulnya yang penuh menonjol. Dia memakai kaus tanpa lengan, yang sering membuat saya salah fokus. Ketika dia mengangkat tangannya, saya dapat melihat dadanya yang kencang dan bergoyang mengikuti gerakannya. Tapi bulu ketiaknya yang lebat membuatku penasaran. Dia tidak mencukur rambutnya, tetapi saya pikir itu membuatnya lebih menarik bagi saya, terutama karena kulitnya yang putih mulus kontras dengannya.

Namun, tentu saja, aku hanya dapat memandang. Bagaimanapun, Emma adalah tetanggaku, dan pasangannya adalah temenku. Meskipun demikian, cerita yang diceritakan istriku tentang keadaan suami Emma membangkitkan fantasiku. Tidak jelas dari mana ide itu berasal, aku tiba-tiba berbisik ke istriku, yang sudah mulai ngantuk.

“Mah,” kataku pelan.
“Hmm”, gumamnya, setengah sadar.
“Gimana kalau kita “menjalankan” Emma?”
“Hah?” Dengan terkejut, istriku membuka matanya segera.

“Apa maksud Papa?” tanya dia, nadanya berubah menjadi curiga.
Aku ragu-ragu sedikit, tetapi karena sudah keceplosan, aku terus. “Ya, kita coba membuat Emma “kepancing”, sampai nafsunya membuatnya tidak tahan lagi.”
“Buat apa? Apa metodenya? tanya istriku, yang tetap bingung.

Aku mulai menjelaskan gagasan saya: memancing Emma ke dalam situasi yang tampaknya tidak sengaja; contohnya, membiarkan dia melihat “sesuatu” dariku atau saat kami dekat. Istrikku kaget ketika aku mengatakan bahwa tujuan akhirnya adalah menikmati Emma. Dia langsung menjadi marah.

“Apakah papa gila? Mentang-mentang ibu sudah tidak menarik lagi! protestnya, nada yang marah.

Aku segera menegaskan bahwa ini hanyalah ide lucu, bukan sesuatu yang serius, apalagi memaksakan. Saya mengatakan ini hanya untuk bersenang-senang, tanpa maksud buruk. Istri saya mulai luluh secara bertahap. Akhirnya, dia mengucapkan kata-kata yang saya tunggu.

Baiklah, Pak, tampaknya menarik juga. Tapi jangan lupa, Papa tidak boleh terlambat, dan Mama tidak boleh kekurangan jatah! ucapannya, yang sebagian mengancam, sebagian bercanda.

Saya langsung mencium keningnya dengan senyum lebar. Pasti, Mah. Saya berkata, “Lagian, kan, Mama yang kadang-kadang tidak mau tiap hari.”
“Ya, lumayan lah, buat ngisi hari kosong saat Mama lagi nggak mood,” kataku, tetap bercanda.

Hasil hasratku lebih besar daripada dia, mungkin istri saya hanya cemberut manja.

Hari libur yang ditunggu-tunggu datang keesokan paginya pada hari Sabtu. Kami sepakat untuk mengikuti “rencana satu” setelah berbicara panjang semalam. Istriku keluar untuk berolahraga seperti biasa pukul 05.30 pagi, dan dia pasti bertemu Emma. Aku berdebar-debar menunggu hasil dari jendela kamar atas.

Di jalan depan rumah, aku menyaksikan mereka berbicara serius. Ini menunjukkan bahwa saya harus mulai bertindak. Dalam situasi ini, istriku pasti “mengadukan” bahwa saya memiliki gairah yang berlebihan, yang kadang-kadang sulit baginya untuk mengimbanginya. Selain itu, sesuai rencana, saya harus berjalan melalui jendela dalam keadaan telanjang sambil memegang “senjata” yang tegang. Tidak terlalu sulit bagi saya, karena melihat Emma berolahraga dengan celana pendek dan kaus ketatnya tadi pagi sudah cukup untuk membuatku “siap tempur”.

Saya telanjang bulat, dan “senjata” saya berdiri tegak ketika saya membuka celana pendek saya. Aku berjalan melewati jendela kamar yang terang benderang dengan santai, menyampirkan handuk di pundak, berpura-pura mau mandi. Aku yakin mereka bisa melihatku dengan jelas karena cahaya pagi yang masih temaram membuat kontras dengan kamar yang terang. Untuk memastikan, aku kembali, berpura-pura lupa sesuatu, dan sekali lagi melewati jendela. Aku langsung menyiram kepalaku dengan air dingin saat sampai di kamar mandi. Perlahan, panas di otakku mereda.

Saya duduk di teras dengan secangkir kopi dan koran setelah mandi. Emma dan istriku terus berbicara di jalan. Sekadar menyapa Emma, aku mengangguk ketika dia menoleh. Tidak jelas apa yang istriku katakan, tetapi wajahnya bersinar. Sambil tersenyum, istriku, yang masih memiliki keringat olahraga, mengacungkan jempol ke arahku. Saya pikir ini pasti pertanda yang baik. Aku langsung menyusulnya ke rumah.

“Bagaimana, Mah?” tanya saya dengan antusias.
Istri saya hanya nyengir. “Apakah Papa tampaknya sangat nafsu?” hanya bercanda.

Meskipun saya sedikit malu, saya ingin tahu. Dia akhirnya menceritakan kisahnya. Saat dia mendengar cerita tentang gairahku yang berlebihan—apalagi saat dia melihatku lewat jendela tadi—wajah Emma berubah “horny”. Dia mengatakan bahwa Mama beruntung karena memiliki pasangan yang mirip dengan Papa. Istriku mengatakan, “Dia bilang dia hanya bisa puas dengan jari-jarinya karena suaminya tidak bisa apa-apa.”

“Oh” Aku hanya mengangguk, tapi fikiranku sudah melayang.
“Selanjutnya, gimana, Mah?” pancing saya.
Papa yang menentukan. “Mungkin ini rencana Papa,” jawabnya dengan santai.

Aku tidak berkata apa-apa, dan pikiranku penuh dengan sejuta bayangan liar. “Oke, kita pikir dulu ya, Mah,” kataku, kembali ke koran yang saya tinggalkan sebelumnya. Aku melihat suami Emma keluar dari rumah, masuk ke mobil, dan berangkat ke kantor saat aku duduk. “Pak, lagi santai, nih?” dia bertanya sebelum menyapaku. Berangkatlah, Pak! katanya terkenal. Saya hanya melambai dan tersenyum.

Saya berpikir, “Pucuk dicinta ulam tiba.” Sangat cocok bagi Emma untuk tinggal sendirian di rumah. Namun, bagaimana caranya? Aku bingung, berfokus pada mencari cara untuk memancing Emma daripada membaca koran. Saya melihat Emma muncul di depan rumah saya saat saya sedang berpikir.

“Apakah Anda sekarang lebih santai, Pak?” “Apakah Mbak Yanti ada?” Sebaliknya, orang yang ramah menyebut nama istriku.
Mbak Emma, dia ada di sana. “Masuk saja,” kataku, setengah khawatir.

Emma melangkah masuk, dan aku melihat pinggulnya yang menggoda. Saya hanyut dalam lamunan, tetapi Emma tiba-tiba menyadarkan saya. Aku masuk dengan cepat dan ingin tahu apa yang terjadi. Emma dan istriku sedang asyik berbicara di ruang tamu, tetapi ketika aku masuk, percakapan mereka berhenti.

“Saya sudah berbicara di pagi hari! Saya pikir itu pasti seru.
Mereka hanya tersenyum dan tidak menjawab.

Aku masuk ke kamar dan duduk di tempat tidur, melihat ke langit-langit. Dengan hordeng terbuka, mataku tertuju pada jendela kamar. Karena kamar ini lebih terang, Pikriku, mereka pasti bisa melihatku dari ruang tamu. Aku bangkit, melepas celana pendekku, dan menggeser sofa ke sudut yang mungkin terlihat dari luar. Dengan asumsi Emma melihat, saya mulai “bermain” dengan “senjata” saya. Setelah itu, “senjata” saya langsung mengeras.

Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Setelah masuk, inspektur langsung menutup pintu. “Pa, apa-apaan? Anda sudah “ngocok” pagi ini? Dari ruang tamu terlihat jelas. Spraynya.
“Ya? “Apakah itu benar?” tanya saya, berpura-pura tidak tahu.
“Emma sampai malu dan buru-buru pulang.”

Aku tidak berkata apa-apa dan semangatku langsung hilang. Saya kembali memakai celanaku, kecewa. Aku gagal memancing Emma sampai siang. Keluargaku bersiap untuk arisan. Emma pasti masih bingung. Berhati-hatilah, jangan bertindak sendirian tanpa ibu. ancamnya, tertawa kecil. Saya hanya mengangguk.

Suara gaduh di depan rumah membuatku terkejut lima menit setelah istriku pergi. Dengan wajah pucat ketakutan, aku keluar dan melihat anakku bersama teman-temannya di teras rumah Emma. Ternyata bola yang mereka mainkan menghantam lampu taman rumah Emma sampai pecah. Saya dengan cepat meminta maaf dan berjanji akan menggantinya. Anakku diminta untuk bermain di lapangan yang agak jauh.

“Mbak Emma, aku harus pergi dulu, ya. Mau beli lampu buat ganti,” kataku.
Tidak perlu, Pak. Mereka juga disebut anak-anak. Selain itu, saya memiliki lampu bekas dari developer di gudang. Emma menjawab dengan ramah, “Kalau tidak keberatan, nanti tolong pasang yang bekas saja.”

Saya merasa sangat terhibur oleh senyumnya dan cara dia berbicara. Saya berkata, “Kalau gitu, Mbak, tolong ambil lampunya, nanti aku pasang.”
Tidak mungkin, Pak. “Ya, tolong ambil di gudang,” katanya sambil tersenyum.

Kesempatan akan datang segera! Saya mengikutinya dengan mengangguk. Emma ternyata menggunakan ruang kosong di kamar mandinya dengan menunjukkan gudang di atasnya. Wah, sangat bagus, Mbak. “Apakah ada tangga?” tanya saya.
“Tidak ada, Pak.” Jika menggunakan bangku, sampai nggak? Tanya lagi.
“Coba saja,” kata saya.

Emma ke dapur mengambil bangku, pinggulnya bergoyang-goyang, membuat saya semakin tidak fokus. Dia kemudian berbalik dan meletakkan bangku di depanku. Meskipun saya naik, saya tidak dapat mencapai handle pintu gudang.

“Gak sampai, Mbak,” saya bilang.
Emma tampak bingung. “Gimana naruhnya sebelumnya, Mbak?” tanya saya.
Jawabannya adalah, “Dulu ada tukang, mereka bawa tangga.”
“Kalau gitu, aku pinjem tangga dulu ya, sama tetangga,” kataku.

Saya keluar untuk mencari tangga, tetapi otak saya sudah memikirkan sesuatu. Aku pergi ke rumah pertama setelah mendapatkan tangga aluminium dari tetangga. Saya hanya mengenakan celana pendek kaus tipis karena celana dalam saya dilepas. Dengan tangga di tangan saya, saya kembali ke rumah Emma.

Akhirnya, aku bisa mendapatkan lampu dari gudang dan memasangnya langsung. Namun, ternyata kedua lampu berada di tempat yang berbeda; lampu yang lama lebih besar. Saya kembali ke dalam dan mencoba mencari dudukan lampu lama, tetapi setelah mencari di seluruh gudang, saya tidak menemukannya. Saya turun dan mencoba menghubungi Emma, tetapi tidak ada jawaban. Saya berpikir, “Pasti di kamar.” Jika Emma tetap di kamar, rencana saya hampir gagal. Saya pergi ke kamarnya, tetapi hasrat iseng saya kembali sebelum mengetuk.

Setelah mencoba melihat dari lubang kunci, saya tertegun melihat apa yang ada di depan saya. Emma berdiri telanjang di atas ranjangnya dengan satu tangan meremas buah dadanya dan tangan lainnya menggosok klitorisnya dengan penuh gairah. Nafsu membuat tubuhku gemetar. “Senjata” saya langsung mengeras dan menegang di celana pendek saya. Saya berpikir, tenggelam dalam lamunan liar, Andai tanganku meremas dadanya itu.

Emma bangkit dari ranjang tiba-tiba dan cepat mengenakan pakaiannya. Dia mungkin ingat bahwa ada tamu. Aku langsung lari ke gudang, berpura-pura mencari sesuatu. Kubiarkan “senjata” yang masih tegang terlihat jelas dari celana pendekku yang tanpa celana dalam.

“Pak, Anda sedang mencari apa lagi?” “Emma bertanya, wajahnya memerah.” Matanya tampaknya tertuju pada tonjolan yang ada di celanaku.
“Dudukannya beda sama lampu yang pecah, Mbak,” jawabku, pura-pura tidak menyadari keadaan celanaku.

Emma terlihat gelisah dan suaranya lemah. “Bagaimana, Pak? Haruskah saya membeli yang baru? katanya, seolah menahan sesuatu dalam dirinya. Saya menyadari bahwa, karena “aktivitasnya” sebelumnya, dia pasti masih penuh semangat.

Aku berpura-pura memikirkan, tetapi dalam hati saya bersorak. Ini merupakan 60% dari langkah saya menuju tujuanku! Namun, saya terus bertanya-tanya: bagaimana dia bisa masuk ke kamarnya dan menikmati tubuhnya yang begitu menarik?

“Kayaknya ada, Pak. “Coba aku cari,” kata Emma, menghentikan saya dari tidur. Dia naik ke tangga dan tampaknya berusaha untuk memancingku. Dari bawah, saya dapat melihat pahanya yang mulus dan putih; luar biasa, dia tidak memakai celana dalam. Meskipun Emma cuek, aku semakin tidak tahan. “Senjata” saya telah basah dengan cairan pelumas dan siap untuk “bertempur”.

Emma turun dari tangga setelah mencari selama beberapa menit. Nentah sengaja atau tidak, dia tiba-tiba jatuh dari anak tangga terbawah. Dengan refleks, aku memeluknya dari belakang. Dengan daster tipisnya, tubuhnya yang kenyal terlihat begitu nyata. “Senjata”ku menempel di pantatnya, dan aku yin dia merasakan pergerakannya.

Emma tersipu dan mengucapkan terima kasih kepada Pak.
“Maaf, Mbak,” kataku hampir pada saat yang sama.

“Eh, ada yang ngeganjel di pantatku tadi, ya?” Mereka mulai berpura-pura.
“Oh, itu pertanda senjata siap bertugas,” jawabku sambil bercanda.

“Tugas apa ini?” Nadanya semakin genit ketika dia bertanya kepada Emma.

Aku lupa janjiku pada istriku untuk tidak melakukan sesuatu sendirian. Nafsu telah mengambil alih. “Tugas ini, Nyonya!” ucapku, dengan cepat merangkulnya dan melumat bibirnya. Emma membalas ciumanku dengan liar juga. Rasa panas membara di lidah kami. Seolah tak sabar, tangannya segera memegang “senjata”ku. Ini mungkin pertama kalinya dia melihat “senjata” yang begitu tegang di matanya.

Meskipun masih terhalang oleh daster, aku tidak mau kalah, meremas buah dadanya yang kenyal. Dia mencuat putingnya dengan kuat, dan aku bisa merasakan dia tidak memakai bra. Saya pelintir pelan saat tangan saya meremas pantatnya yang halus. Cumbuan kami menjadi lebih panas.

“Sebentar, Mas!” tiba-tiba terdengar. Emma mengunci pintu depan dengan cepat. “Mas”, tanda keakraban, memanggilku, membuatku melongo. “Ini, Pak!” Saya menghubunginya dan dia mengajakku ke kamarnya.

Aku berlari singkat menuju kamarnya. Emma melepas dasternya dan tampil bugil. Kulitnya bersih dan putih, dengan bulu kemaluannya yang lebat. Saya terkejut dengan lekuk pinggangnya yang sempurna. tetapi hanya untuk sementara. Aku melepas celana pendek dan kaus dengan cepat. “Senjata” saya tegak.

Emma lebih agresif. Dia berjongkok di hadapanku dan dengan rakus memakan “senjata”ku. Lidahnya yang hangat membuatku terpejam dan menikmatinya. Ketika dia mengocok dengan cepat, rasa nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Dia ditarik ke atas dan aku melumat bibirnya lagi. Nafasnya memiliki aroma yang meningkatkan semangatku.

Saya mendorongnya ke ranjang. Dengan tanganku meremas buah dadanya yang lembut, lidahnya menjelajahi lehernya yang panjang. Kupelintir pelan putingnya yang merona. Bulu ketiaknya yang lebat begitu dekat mengeluarkan bau yang memabukkan dan khas. Melingkari buah dadanya, lidahku menjalar ke ketiaknya. Emma mendesah keras, menjambak rambutku, dan menekan kepalaku ke dadanya saat lidahku menyentuh putingnya.

Saya semakin bebas. Semua bagian tubuhnya—pinggul, paha, dan kemaluannya yang berbulu lebat—telah saya sapu dengan lidahku. Setelah susah payah membersihkan bulunya, lidahku mencapai klitorisnya yang basah. Emma semakin hanyut, tangannya meremas sprei, saat aku melumatnya dengan lembut. Setelah lidahku masuk ke dalam kemaluannya, bau kewanitaannya membuatku semakin nafsu.

Emma mendorongku terlentang dengan cepat. Dengan cepat, pantatnya yang berbentuk bulat sudah berada di atas perutku. Dia perlahan turun dengan “senjata”ku di tangannya. Kepala “senjata” saya mulai masuk ke dalam kemaluannya yang basah, tapi ketat. Mungkin karena jari-jari saja yang masuk. Secara bertahap, “senjata” saya masuk ke dalam kemaluannya, hingga akhirnya semuanya masuk.

Itu sangat menyenangkan. Seperti mengurut “senjata”ku, vaginanya menjepit erat. Emma diam sejenak, menikmati “senjata”ku. Pantatnya kemudian mulai bergerak, maju, mundur, dan turun. Kami menangis. Goyangan Emma semakin cepat, tak beraturan, dan tanganku meremas buah dadanya. Saya berusaha untuk menghindari ejakulasi.

Tak lama kemudian, aku merasakan denyutan yang lebih kuat di vaginanya. Emma berteriak keras saat dia mencapai ejakulasi. Tubuhnya terlungkup di atasku, dengan giginya menempel di bahuku. “Senjata” saya masih tersembunyi di sana. Aku membiarkan dia menikmati orgasme yang tersisa.

Setelah beberapa menit, saya berbisik, “Mbak, lanjut lagi, ya? Saya masih belum selesai. Emma bangkit dan duduk di pinggir ranjang dengan senyuman. Terima kasih, Pak. “Baru kali ini aku mengalami orgasme yang begitu kuat,” katanya, melumat bibirku lagi. Dengan bumbunya yang semakin liar, lidahnya bahkan menjilat putingku, membuatku berdesir.

Saya mengambil alih. Aku kembali memasukkan “senjata”ku ke kemaluannya yang masih ketat dengan cara misionaris. Dengan pantatku bergerak naik-turun, lidahku bergantian menyedot buah dadanya. Gairah Emma bangkit lagi, wajahnya memerah. Saya mengatur waktu, dan saya ingin membuat semua orang puas.

Aku tidak bisa menghitung berapa banyak gaya yang telah kami coba atau berapa kali Emma orgasme. Saya ingat bahwa tampilan doggy pada akhirnya sangat bagus. Dengan hentakanku, pantatnya yang kenyal bergoyang. Saya hampir tidak dapat menahan diri. “Mbak, di dalam atau di luar?” tanyaku dengan suara parau dan terus memompa.

Di dalam, Pak. “Saya tidak subur lagi,” katanya dengan suara serak.

Beberapa detik kemudian, aku dengan keras mengeluarkan “senjata” saya. Tubuhku penuh dengan kegembiraan, dan aliran orgasme menyembur ke seluruh tubuhku, mengisi vaginanya dengan sepuluh kedutan nikmat. Emma menggigit sprei seolah-olah dia sedang orgasme lagi. Kami tetap diam, terengah-engah, menikmati sedikit kesenangan yang tersisa.