Hotel Yang Salah

Diposting pada Dilihat: 0


Nama asli saya adalah Nando. Saya bekerja di pabrik Kota B selama hampir setahun. Usiaku 20 tahun, belum menikah, tingginya 170 cm, dan beratnya 65 kg.

Pabrik tempatku bekerja selalu memberikan libur minggu penuh kepada semua karyawannya setiap tahun. Sekarang adalah waktunya! Aku memilih untuk menghabiskan liburan saya sendiri di pantai. Setelah gajian tiba, aku segera pulang, menyusun pakaian saya ke dalam koper, dan siap berangkat. Saya naik bus, dan perjalanan terasa singkat—hanya lima puluh menit.

Aku langsung menuju resepsionis untuk memesan kamar hotel saat tiba di pantai. Saat berbicara dengan petugas, mataku terpaku pada seorang wanita yang baru saja bangkit dari tempat duduknya. Dia sangat menarik dengan tinggi 160 cm. Suaranya menghentikan lamunanku setelah aku terdiam sejenak.

“Apakah ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tanya dengan lembut.

“Eh, ya… saya ingin pesan kamar,” jawabku dengan gugup.

“Pak, pesan yang mana yang Anda inginkan? Sambil menunjuk papan daftar harga, dia berkata, “Ada tiga tipe kamar di sini.”

Saya sangat salah tingkah. Karena cantiknya, sulit bagi saya untuk memilih kamar yang tepat.

“Yang kelas menengah saja,” kataku, berusaha menarik perhatian dari lamunan.

“Baiklah, harganya Rp 700.000,” katanya.

Saya membayar segera.

Aku diam-diam melirik nama Lola di saku bajunya saat dia mengetik di komputer resepsionis. Selain itu, aku tidak bisa menahan diri untuk melihat tubuhnya yang, jujur saja, sangat proporsional. Aku sangat kagum.

“Sempurna sekali,” bisikku.

Terlepas dari seragam kerjanya, tubuhnya tetap terlihat seksi. Sampai dia selesai mengetik, aku tetap menatapnya. “Selamat menikmati hotel kami,” kata Lola akhirnya sebelum memberikan kunci kamar.

Aku langsung masuk ke kamar dengan kunci itu. Setelah sampai di sana, aku langsung merebahkan diri di ranjang sambil mengingat bayangan Lola. Lama-kelamaan, perasaan saya mulai hilang. Burungku berdebar-debar, seolah-olah saya ingin keluar dari sarangnya. Meskipun saya berusaha keras untuk menghindari berpikir tentang hal-hal yang tidak menyenangkan, si burung tetap ingin melakukan sesuatu. Akhirnya, celana jeans dan celana dalamku melorotkan hingga paha. Bahkan elang yang tidak memiliki sayap itu berdiri tegak. Sambil terus membayangkan Lola, aku mulai memegang penisku. Aku tidak bisa menahan diri lagi dan mulai perlahan mengocok penisku. Aku bangkit dan membuang semua pakaianku karena kamarku menjadi panas setelah beberapa saat.

Pintu kamar saya terbuka tiba-tiba ketika saya ingin memulainya lagi. Terheran-heran, aku bergegas untuk mendapatkan pakaian saya, tetapi semuanya sudah terlambat. Saya telah dilihat oleh seseorang. Meskipun saya tidak mengetahuinya, kecantikannya menarik perhatian saya. Dia menatap kami sesaat sebelum berbicara.

“Oh, apakah ini kamar nomor 235?” tanya dia dengan suara lemah.

Pertanyaannya membuatku kaget. Wanita biasanya menutup pintu saat melihat pria telanjang. Namun, dia? Dia hanya bertanya.

Aku bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Aku memberanikan diri untuk tampil telanjang bulat. “Silakan masuk dan tutup pintunya dulu.”

Saya memiliki perasaan yang berbeda. Apa yang saya katakan sebelumnya benar atau salah?

Setelah masuk ke kamar saya, wanita itu tersenyum. “Apakah ini kamar nomor 235?” dia bertanya lagi setelah menutup pintu. Saya merasa kepala saya akan pecah. Meskipun saya ingin lari, sepertinya kakiku tidak bergerak.

“Bu…bukan… ini bukan kamar 233,” jawabku, menarik napas dalam-dalam.

Dia malah mendekatiku daripada pergi. “Kenapa Anda tetap telanjang?” Meskipun saya semakin bingung dengan pertanyaan itu, saya juga merasa tertarik, entah mengapa. Saya sangat ingin bergumul dengannya segera, tetapi saya juga takut karena ini adalah pengalaman pertama saya dengan lawan jenis.

Tangan kanannya mulai lembut membelai pinggangku. Saya masih tidak tahu apa yang harus saya lakukan. “Apa kau pernah melakukannya?” dia bertanya, menyentuh alat vitalku dengan tangan kirinya.

Saya tidak memberikan jawaban. Sebaliknya, aku dengan cepat mencium bibir mungilnya.

Dia menjawab ciumanku dengan benar. Karena aku tidak memerintahkannya untuk berciuman, reaksiku membuatku terkejut. Dia mulai menjulur lidah, mencari lidahku, dan saya membalasnya. “Tenang saja, kita akan bersenang-senang,” katanya sambil berciuman denganku selama beberapa saat.

Dia membuka seluruh pakaiannya dan melemparkan semua itu ke lantai. Di depanku, terlihat sepasang “bukit kembar” yang cukup besar dan lekuk dengan sedikit bulu halus yang tampak feminin. Setelah menelan ludah, aku terpukau melihat tubuh cantik wanita itu di hadapanku. Aku terbaring setelah dia mendorongku ke ranjang. Saat dia tiba, dia mulai mengusap “elang” saya.

“Ahh,” aku mendesah.

“Apakah itu enak, Pak?” Tanya.

“En…ahhkk”, kataku saat dia sudah memasukkan kontolku ke dalam mulutnya.

Dia terus mengulum kontolku, membuatku merem melek.

“Ahhhkkk. Hmmmm. Aaaahhhh.

Saat lidahnya menjilati lubang kontolku, aku menangis. Saya ingin keluar segera setelah dia terus melakukannya. Setelah beberapa saat, aku merasakan denyutan dan gatal di sekitar kontolku.

“A…ku ti…dak kuaattt!” teriak

Aku segera memasukkan cairan kejantananku ke mulutnya. Dia mengeluarkan banyak cairan, dan tampaknya dia telah menelan sebagian spermaku. Saya merasa lemas dan ingin tidur.

Jangan tidur dulu, Pak! teriak dia, menepuk dadaku.

Setelah tersentak bangun, saya menyadari bahwa saya sedang dalam hubungan intim.

“Aku benar-benar membuatmu pingsan, eh… ngomong-ngomong, siapa namamu?” tanya saya, ingat bahwa saya tidak tahu identitasnya.

“Jika Anda ingin tahu siapa saya, Anda harus melakukannya lagi, bukan?” menantang

“Iya deh,” jawabku dengan lebih percaya diri, dan saya bangkit dari tempat tidur untuk pergi lebih jauh.

Dia telentang di bawahku setelah aku membalikkannya. Memulai dari sisi kiri, bibirku menyentuh payudaranya tanpa ragu, dan jari telunjukku menekan lembut puting kanannya.

Sebuah desahan pelan, “Ahh…” keluar dari mulutnya.

Sementara jari telunjukku bermain di puting kanannya, aku terus menghisap puting kirinya dan menghisapnya perlahan. Terdengar desahan panjang, dan dia memejamkan mata karena sensasi itu.

“Ahhh… geli… gelliiiii… ahhh… Massss…” rintihnya, membuat suaranya menjadi lebih menarik.

Suaranya yang merdu membuatku merasa lelah. Saya menjadi lebih bersemangat, dan saya terus menyentuh payudaranya dengan bibirku. Aku kadang-kadang mengecup, kadang-kadang menghisap dalam-dalam, ingin merasakan seluruh kenikmatan puting wanita. Aku hisap yang kanan setelah puas dengan yang kiri. Setelah berulang kali, air liurku menutupi payudaranya.

Tangan kananku perlahan meluncur ke bawah ke bagian intimnya. Dia mengunci pahanya rapat-rapat dan menolaknya dengan telapak tangan saya. Saya mencoba lagi, tetapi dia menangis sambil mengucapkan sesuatu.

“Mas, jangan… duuullluuuuu… Mas… Sayyaaa… massiihhh… pe…rrraaaa… wwa.aannn,” katanya sambil tertawa.

Rintihannya tidak terdengar olehku. Tangan kiriku tetap memijit puting kanannya dengan lembut, sementara bibirku mencari bibirnya dan menciumnya. Jelajahku turun ke lehernya setelah dia mencium bibirnya.

“Gellllliiiiii… ahhhhh… ngillluuuu!” Ririh lagi.

Sangat ingin segera menyelesaikan semuanya, tetapi saya tidak tahu bagian mana lagi yang harus dikurangsang agar dia benar-benar terbawa suasana. Aku berbisik sambil mendekatkan bibirku ke telinganya.

Sayang, aku benar-benar ingin mencicipi keharuman feminimmu.

“Tuunnnnngggguuuuu… Masssssss… Ahhhh,” katanya, tetapi suaranya semakin lemah.

Dengan sedikit penolakan, tangan kanan saya mulai membuka pahanya. Bahkan membuka pahanya lebih lebar, dia tidak lagi menolak. Di bagian bawahnya, aku mulai merasakan kehangatan. Aku menggerakkannya perlahan sambil memegangnya dengan seluruh telapak tangan, naik turun sesuai irama.

Dia menangis.

“Hhhhhh… hhhhhh,” aku memberanikan diri, mempercepat gosok bagian dalamnya sambil terus menghisap putingnya. Ini meningkatkan hasratnya, dan aku merasakan kelembapan di sana.

Aku melepaskan ciuman saya dari putingnya dan menuju bagian dalamnya. Aku merasakan aroma yang belum pernah kucium sebelumnya saat mengendusnya. Aku memulainya dengan menghirup sedikit udara di permukaannya, membuatnya bernapas tidak teratur.

“Hhhhh… hhhhhh…”
“Aku…ahhhhhh…sssshhhh…”

Meskipun dia tampaknya ingin berbicara, aku tidak peduli. Aku menjilatinya lebih cepat sampai aku merasakan bola kecil keluar darinya. Meskipun saya tidak mengerti dan mencoba menjilatinya, tiba-tiba…

“Ahhhhkkkkk… Ge…lllllliiiiii… iiikkk… Ahhhhh… mas ahh…”

Rintihannya menjadi semakin keras, sepertinya dia meminta bantuan. Sekarang saya tahu bahwa dia senang dijilat di area itu. Dia mulai menjambak rambutku, membuatku sedikit kesakitan, tetapi aku tidak ragu. Aku terus menjilatinya sampai aku mendengar sesuatu tiba-tiba.

“Ahhhhh… kk… Akuuuu… iiiiinnngggiiinnn… kkkkeeeelllluuuuaarrr!”

Dengan suaranya, aku merasakan cairan hangat yang mengalir dengan deras dari tubuhku. Tidak bisa bergerak karena kepalaku terjepit erat. Napasku terlalu penuh, sepertinya tidak ada ruang untuk bernapas.

Aku diam sejenak, berusaha memahami apa yang terjadi. Setelah beberapa saat, kakinya yang menjepitku terlepas, dan tangannya yang menjambakku mengendur.

Perlahan-lahan, matanya terbuka ketika aku mengangkat kepala.

“Ma…ss… kamu… hebaattt…” katanya.
“Kamu juga bagus, sayang,” kataku.
“Masss, kau… tahu… tidak… bahwa… kau… sala…h kam…ar?” tanya dia dengan suara yang lemas.

“Ini kan kamar 235?” Saya bertanya bingung.
“Tidak, Ini kam…ar 233,” katanya.

Saya benar-benar terkejut. Baru pada saat itu saya menyadari bahwa saya berada di kamar yang salah.

“Nama kamu, sayang?” setelah dia mulai tenang, saya bertanya sambil memegang pipinya.
“Ak…u ada…lah Celine,” katanya.
“Apakah Anda ingin menjadi istri saya?” tanya saya.
“Kau be…nar…be…nar nak…al,” katanya sambil tersenyum.

Aku tidak bisa menahan diri lagi setelah berbicara sebentar. Aku langsung mendekatinya, mencium bibirnya dengan penuh perasaan, dan kemudian kami mulai lagi bermain. Lidahnya mulai menari, mencari untuk bermain dengan lidahnya. Dia menjawab dengan semangat, seperti tidak ingin kalah.

“Mmmhh… mmmpphh…” Suara lembut itu keluar ketika lidah kami bertemu, seperti tarian yang penuh dengan kimia.

Sambil aku memainkan lidahnya, dia perlahan-lahan mengangkat setengah tubuhnya ke arahku. Dibandingkan sebelumnya, saya lebih santai kali ini. Aku melepaskan ciumannya dan mulai menjilati lehernya dengan santai, menikmati setiap detik.

“Aaahhh… ohhh…” Dia mendesah dengan lembut namun penuh rasa.

Setelah lehernya cukup puas, aku ingin pergi lebih jauh. Saya menoleh ke dadanya. Dengan perlahan saya turun, saya mulai menghisap dan mencium payudara kirinya. Saya menyedotnya pelan-pelan dan menciumnya dengan lembut sambil tangan saya meraba dan memijat payudara kanannya yang luar biasa. Aku terus menghisap, bergerak dari kiri ke kanan, hingga aku membuat keduanya basah.

“Aaah! “Ohhh… menggelikan.” Desahannya semakin keras, seolah-olah dia sedang menyanyikan.

“Mas… coba… masukin… aku… sudah… siap…” katanya dengan suara terbata-bata dan penuh nafsu saat aku menggigit lembut puting kanannya. Dalam hati saya tersenyum. Aku ingin membuatnya menikmati permainanku yang penuh sensasi, bukan terburu-buru.

Dia tetap tidak mau kalah. Dia dengan cepat membalikkan tubuhku dan menindihku. Mengikuti alur permainannya, saya hanya bisa pasrah. Dia menjilati putingku dengan semangat sambil menunduk.

“Ahhh… ohhh…” Aku mendesah, mencoba mengangkat kepalanya, tetapi dia dengan tegas menepis tanganku, menunjukkan bahwa ini adalah waktunya.

Setelah puas menjilati, dia bangkit dan dengan tangan gemetar mencoba memasukkan kontolku ke dalam dirinya. Saya terkejut. Meskipun dia masih perawan, dia begitu berani. “Wah, dia benar-benar luar biasa,” kata Pikriku.

Prosesnya sulit. Saya merasa ada hambatan yang sulit ditembus. Perlahan-lahan, dia mencapai setengah bagian. Dia kemudian mulai menggoyang dengan irama lembut dengan gerakan pelan.

“Ahhh… ahhh…” Kami semua menangis bersama-sama, mengisi ruangan.

Saya merasakan sesuatu yang aneh, seperti ada dinding di dalamnya, tetapi kegembiraan mengatasi semuanya. Mengangkat pinggulku, aku ingin lebih dalam.

“Ahhh… ohhh…” Desahan kami semakin tidak terkendali.

Permainan menjadi lebih menarik, tetapi aku mulai merasa dia mulai sakit. Saya merasa khawatir.

Sayang, apa penyebabnya? “Sakit?” tanya saya dengan sedikit ketakutan.

“Aku… sudah… ahhh…” Jawabannya terputus-putus seperti angin.

“Kenapa?” “Apakah Anda baik-baik saja?” Rasa penasaran membuat saya bertanya lagi.

“Bukan… perawan… terus saja…” katanya dengan suara keras.

Aku merasakan sesuatu pecah tiba-tiba, dan darah mengalir di perutku. Saya baru saja menyadari bahwa saya telah mengambil keperawanannya. Di kepalaku, rasa bersalah dan kenikmatan bercampur menjadi satu.

“Maaf, aku tidak tahu.” Saya berkata pelan, mencoba menenangkan diri.

Matanya penuh gairah, dan dia hanya tersenyum kecil. Dia menggoyang lagi dengan lebih cepat setelah menekan dadaku. Aku menyadari bahwa dia tidak merasa menyesal.

“Ayo, Mas… lebih dalam… aku ingin ngerasain…” dia mendesah.

“Ahhh… ohhh…” Kami kembali larut dalam irama yang penuh dengan semangat, semakin cepat dan semakin dalam.

Tidak jelas apa yang dia katakan, tetapi dari caranya menggoyang dengan lebih cepat, saya bisa mengetahui bahwa dia senang dengan saat ini. Permainan kami seperti lari maraton yang melelahkan. Tiba-tiba, aku merasakan dorongan yang menyebar ke seluruh tubuhku, seperti gelombang yang siap meledak.

“Celine… aku… aku… mau… keluar,” kataku sambil memegang pinggulnya erat.

“Aku… juga… nggak… tahan…” Dia semakin bersemangat, suaranya hampir seperti jeritan penuh gairah.

Semuanya terasa licin tiba-tiba ketika cairan hangat membanjiri saya. Saya tidak bisa menahan diri lagi karena sensasi itu.

“Ahhh!” “Ohh!” Saya berteriak dengan keras dan menggerakkan pinggulnya dengan cepat. Kemudian terjadi ledakan. Saya menyembur ke dalam dirinya berulang kali, mungkin tujuh kali. Sementara itu menguras energi, itu luar biasa.
Setelah beberapa saat, aku melepaskan tanganku. Setelah lari lintas kota, badanku terasa lelah. Aku tertidur tanpa sadar saat aku memejamkan mata. Aku hanya merasakan dia meringkuk di dadaku, hangat dan tenang, di detik-detik terakhir sebelum tertidur.

Pada pagi hari, sinar matahari masuk. Bingung, aku perlahan membuka mata. Apa yang terjadi semalam, benar-benar terjadi atau hanya mimpi? Dia sedang merapikan bajunya, seperti bersiap pergi, ketika aku menoleh ke kiri dan kanan. Saya dengan suara serak memanggilnya.

“Sayang, ke mana kamu mau?” tanya saya.
Dia hanya tersenyum tipis, lalu pergi tanpa kata-kata. Aku memilih untuk tidur lagi karena terlalu lelah untuk mengejar. Saya tidak tidur sejak pulang kerja kemarin, dan badan saya sangat sakit setelah semalam.
Aku merasa lebih baik saat bangun lagi. Saya mengenakan bajuku dan bersiap untuk keluar dengan tas di tangan. Aku melihat nomor kamar di pintu. Ini bukan kamar saya, Tuhan! Ternyata kamar saya berada di sebelah. Aku bergerak dengan cepat dan menyusun barang-barangku.

Aku melihat seorang petugas kebersihan lelaki menuju ke arahku saat saya berjalan di lorong. Saya menjawab dengan senyuman pagi dan berlalu. Aku mendengar suara pintu dibuka tiba-tiba. Aku menoleh dan kaget—itu kamar tempat aku dan dia semalam! Aku bangkit dan berlari ke arah petugas itu.

“Tunggu, Sir!” “Segera bersihkan kamar ini.” kataku dengan cepat.
“Ha?” Kebingungan, dia menjawab, “Ini kan sudah check-out tadi pagi.” “Ini kamar Daddy?”
Gagap. Mengakui kekeliruan saya, saya berkata, “Bukan… saya kira itu kamar saya.”
Aku keluar dari hotel dengan perasaan yang berbeda. Saya makan siang sendirian, tetapi pikiran saya tidak ada di sana. Saya merasa bahwa liburan saya telah hilang. Aku hanya berbaring di kasur, menatap langit-langit dengan penyesalan dan bayang-bayang malam yang tidak dapat kulupa.